Wednesday, April 29, 2009

What I Wish upon a Falling Star:

• I don’t have to remember taking my pills
• I don’t feel nauseous in the morning
• I don’t feel exhausted every time
• I don’t feel lifeless after the shots
• I can sleep well again
• I can enjoy going shopping again
• I can play badminton again
• I can drink Baileys again ^_^
• I can enjoy my life again

Aku dapat Teman Berbagi yang Mengerti

Aku sadar bahwa aku bukanlah aku yang dulu lagi. Aku sekarang lebih sering terlihat tanpa gairah dan bĂȘte. Walaupun seringkali kututupi dengan dandanan yang dapat terlihat segar dan pakaian yang cerah, aku paham bahwa sinarku meredup.

Bebanku terasa berat. Tak bisa rasanya terus berkeluh kesah kepada suami atau keluarga, tak tega rasanya. Hanya segelintir sahabat yang kukabarkan berita ini dan tak rela hati ini membebani mereka bahwa efek samping yang kutakutkan mulai kurasakan. Aku berusaha bersikap tegar di hadapan mereka semua. Dan hal itu amat sangat membebaniku.

Sampai suatu hari kudengar kabar bahwa seorang sahabatku terkena hepatitis b. Langsung kutelepon keesokan harinya dan jadilah percakapan yang panjang, mendalam namun menyejukkan. Kami merasakan hal yang sama. Secara fisik dan emosional. Kami tertawa bersama walau kami memahami kami menangis bersama di dalam hati kami. Beban di dada terangkat hanya dengan sedikit kata-kata karena kami dapat memahami dengan mudah. Sungguh hari yang sangat kusyukuri karena aku mempelajari banyak hal. Kami saling menguatkan dan akan saling menguatkan sampai badai ini berlalu.

Terbersit ide untuk mengikuti kelompok sesama penderita hepatitis C. Itu akan sangat membantuku melalui ini semua. Akan kutanyakan informasi ini pada dokterku pada konsultasi berikutnya. Aku rindu hidupku yang dulu dan aku mau melalui semua ini dengan rasa syukur seperti hidupku sebelumnya yang selalu kuusahakan untuk kusyukuri.

Efek Samping Terapi yang Berubah

Pada dua bulan pertama efek samping yang kurasakan dari terapiku amat sangat minim. Terkadang aku merasakan badanku lemas dan sakit kepala satu-dua hari setelah suntikan, namun terkadang pula aku merasa sehat-sehat saja. Dapat dikatakan saat itu aku merasa semua sempurna: aku bisa menjalankan terapiku dan melaksanakan segala aktivitasku dengan lancar.
Tapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Memasuki bulan ketiga, aku baru merasakan efek samping yang sering aku dengar dari dokterku dan aku baca dari internet. Aku tidak dapat menikmati weekendku seperti waktu sebelumnya. Waktu di hari Sabtu-Minggu lebih banyak kuhabiskan di rumah saja, bahkan sebagian besar di tempat tidur. Biasanya pada waktu itu kuhabiskan waktuku untuk menata dan membersihkan rumah, kini tak dapat kulakukan sepenuhnya. Aku merasa amat sangat kelelahan membersihkan kamar mandi atau mengepel rumah. Nafasku bisa tersengal-sengal seperti habis berlari cepat sejauh 200 meter tanpa henti. Akhirnya kuputuskan untuk meminta bantuan orang lain untuk melakukan hal tersebut. Sungguh membuatku frustasi.
Aku mulai meninggalkan kebiasaanku bermain badminton tiap Jumat malam. Biasanya aku bisa bertahan sampai set ketiga, set pertama saja kuselesaikan dengan susah payah. Sampai akhirnya aku tak lincah lagi untuk mengejar shuttle cock dan hanya menjadi bulan-bulanan lawanku, maka kuputuskan untuk berhenti saja. Kemudian kebiasaan menaiki tangga sampai ke ruanganku juga sudah kutinggalkan, karena harus menaiki sepuluh lantai. Sekarang, menaiki tangga stasiun yang hanya satu lantai saja terkadang aku kepayahan. Sungguh membuatku frustasi.
Aku tidak dapat tidur nyenyak lagi, karena harus sering terbangun untuk ke toilet. Setiap pagi aku merasa badanku pegal-pegal terutama sekitar pundak, leher dan punggung. Badanku lemas, kepalaku sakit dan ingin tetap tinggal di tempat tidurku saja. Tapi aku harus bekerja. Alhasil, seringkali aku kehilangan konsentrasiku saat bekerja. Aku sering blank saat rapat dan juga membuat kesalahan yang seharusnya tak terjadi. Sungguh membuatku frustasi.
Belum lagi temperamenku yang naik turun. Aku mudah sekali marah atau pun tersinggung. Aku jadi grumpy dan cranky. Beberapa temanku sudah kena batunya dan aku sangat meyesal memikirkannya di malam hari. Aku mulai lebih senang menyendiri karena takut menyakiti perasaan orang-orang yang kusayangi. Belum lagi aku juga mudah sekali menangis. Memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak kupikirkan. Dahulu aku yakin bahwa aku seorang yang sangat kuat dan sabar, namun sekarang aku tak tahu lagi apa yang kuyakini. Sungguh membuatku frustasi.

Monday, April 27, 2009

Suntikan Yg ke-14

Jumat 25/4 adalah suntikan interferon yg ke-14 buatku. Sejak memasuki bulan ke-3 terapiku, efek samping yg kurasakan semakin mengganggu hari-hariku. Setiap hari aku merasakan kelelahan yg amat sangat, padahal hanya melakukan hal kecil, seperti menerangkan sesuatu pada anakku bisa membuatku ngos2an. Sungguh hidup jadi susah buatku.
Anehnya, bila kusuntikkan interferon di pangkal lenganku, aku mulai merasakan lemas keesokan harinya sedangkan bila kulakukan di perut atau pinggang rasa lemas baru datang dua hari sesudahnya.
Jumat malam sebelum kusuntikkan interferon ke tubuhku, anakku tiba2 panas. Aku panik bukan kepalang. Jangankan merawat anakku yg sakit, hari Minggu biasanya hampir seharian kuhabiskan waktuku di atas tempat tidur saja.
Saat itu suamiku membantuku menyuntikkannya ke perutku karena aku harus kuat keesokannya untuk merawat anakku yang badannya panas. Benar saja, suhu badan anakku naik turun tidak pernah stabil selama 2 malam. Aku dengan suami bergilir menjaganya. Aku giliran menjaganya siang hari, sedangkan suamiku waktu malam. Walau dengan badan lemas kupaksakan merawatnya, menghiburnya, dan mondar-mandir melayani kebutuhannya. Sungguh hari yang sangat melelahkan. Saat itu terbayang olehku, pasti hal ini sangat mudah kulakukan diwaktu sebelum terapi.
Ibu dan Bapakku datang menjenguk anakku dan membantuku merawatnya. Namun namanya juga anak, di kala sakit yang dia inginkan hanyalah ibunya...jadinya aku harus tetap siap sedia bila dia menginginkanku.
Minggu sore suhu badan anakku mulai stabil, terima kasih pada dokter jaga ugd RS waktu itu, aku mulai bernafas lega. Tak terbayang jika anakku sampai diopname dan aku harus menjaganya di RS.
Minggu malam badanku amat lemas, kepalaku sakit, leher dan pundakku juga sakit seperti ada yang mencengkeram keduanya. Sudah sejak hari Sabtu sore kuminum panadol merah untuk mengurangi rasa sakitnya namun rasa itu datang dan pergi. Karena anakku sudah mulai tenang, suamiku yang menjaganya dan aku mulai terkapar di tempat tidurku sambil sesekali menanyakan suamiku tentang keadaan anakku.
Keesokan paginya badanku rasanya masih tak karu-karuan. Aku terpaksa tidak masuk kantor karena badanku masih lemas dan kepalaku terasa berat. Tak akan sanggup aku naik kendaraan umum menuju kantorku. Aku tetap tinggal di tempat tidur sampai anakku memerlukanku. Kuminta tolong suamiku untuk menelpon teman sekerjaku untuk dibuatkan surat cuti untuk satu hari.
Meskipun malam ini rasa nyeri pada leher dan pundak serta sakit kepala masih ada, aku berniat untuk ke kantor keesokan harinya. Lama-lama aku terbiasa dengan rasa sakit ini.......yang belum terbiasa adalah rasa frustasi dan depresi yang sering menyerang akhir-akhir ini. Aku akan ingat untuk minta anti depresan pada konsultasi selanjutnya.

Tuesday, April 21, 2009

Askes, Penyelamatku

Saat mengetahui aku mengidap hepatitis c, aku mulai mencari informasi dan memutar otakku bagaimana harus membiayai terapiku. Aku sadar dan paham betul bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk terapiku amat sangat besar. Bayangkan, aku harus menjalani terapi selama 11 bulan setiap seminggu sekali aku harus menyuntikkan interferon: pegasys peginterferon alfa-2a 180 mgr/0.5 ml dan setiap harinya harus minum obat 3 butir pagi hari dan 2 butir sore hari copegus: ribavirin 200mg. Ku hitung-hitung biaya untuk interferon saja satu injeksi Rp 3 jutaan sehingga untuk 11 bulan jumlahnya Rp 133 jutaan belum lagi untuk ribavirin dan biaya-biaya lab, jadi kira-kira biayanya Rp 200 jutaan. Jual seluruh hartakupun mungkin tak akan menutup biaya segitu. Tak tega kalau harus memakai tabungan untuk pendidikan anakku.
Karena aku PNS dan sudah menjadi anggota ASKES kucari-cari informasi mengenai ASKES, apakah ASKES menanggung pengobatan hepatitis c. Aku browsing di internet dan tanya sana sini mengenai hal tersebut tetap saja hasilnya nihil. Sampai akhirnya aku mendapat informasi bahwa obatku ditanggung 100% oleh ASKES dari dokter yang merawatku hingga sekarang. Aku berkonsultasi dengannya di RS PELNI Petamburan pada hari Sabtu. Dia menginformasikan bahwa bila aku anggota ASKES maka obatku 100% ditanggung, konsultasi dokter seingatku 50-80% ditanggung, biaya lab bervariasi 80-0% ditanggung. Biaya lab RNA (untuk menghitung viral load dalam darahku) harus kubayar penuh.
Aku amat sangat terbantu dengan menjadi anggota ASKES. Aku terbebas sepenuhya dari biaya obat yaitu pegasys dan ribavirin yang totalnya bisa mencapai kira-kira Rp 100 jutaan. Sehingga aku hanya memikirkan biaya lab dan lainnya saja.
Lain kali akan ku posting cara-cara mengajukan terapi ini dengan menggunakan ASKES.

Awal Bab Ini

Perkenalan saya dengan Hepatitis C berawal sekitar November 2007 ketika saya berencana untuk hamil anak yang kedua. Saat itu saya sedang sekolah S2 di Australia dan memasuki semester terakhir. Saya dan suami sepakat untuk lebih meyemarakkan keluarga kami dengan berusaha menghadirkan anggota keluarga baru. Kemudian saya menjalani tes menyeluruh sesuai saran dokter di sana sebelum hamil. Hasilnya sungguh mengejutkan. Saya positif mengidap virus HCV (Hepatitis C). Saat itu saya masih awam akan penyakit hepatitis C dan saya hanya bertanya-tanya seadanya kepada dokter. Kemudian dokter tersebut merujuk saya ke dokter spesialis penyakit infeksi (infectious diseases department...mengerikan sekali ya nama departemennya :-)) untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Sejak hari itu, saya mulai riset saya tentang penyakit hepatitis C. Dan hasilnya, semakin banyak informasi yang saya dapat, semakin saya paham bahwa ini penyakit yang sangat serius dan saya sadar bahwa hidup saya mulai hari itu akan berubah.
Dalam kujungan pertama saya ke dokter spesialis tersebut, saya dianjurkan untuk menjalani tes selanjutnya yaitu tes untuk mengetahui genotype saya. Lamanya pengobatan (treatment) saya bergantung pada hasil tes genotype. Sepulang dari konsultasi, saya melakukan riset tentang genotype melalui internet. Dalam benak saya saat melakukan riset, jangan sampai genotype saya masuk ke kelompok 1 (finger crossed that time)....karena itu akan memerlukan treatment yang lama. Tapi hasil tes berkata lain, saya positif HCV dengan genotype 1b...maka dimulailah bab kehidupan baru saya: hidup bersama hepatitis c.