Monday, December 7, 2009

Bagaimana Menyelamatkan Suatu Kehidupan?

Suntikan ke-46 (please mr. time.....speed up *_*, coz 2 more to go)

Minggu kemarin benar2 tantangan buatku. Seminggu tidak bekerja. Tak juga menjalankan tugas mengikuti kursus di Denpasar. Kecewa rasanya. Semua rencana selama seminggu berikut reuni bersama teman dan keluarga di pulau dewata, pupus sudah. Kembali terpurukku di sini, di peraduan tercinta T_T.

Aku mengalami demam yang datang dan pergi, diare, radang mulut, badanku sangat lemas, kepalaku dan otot-otot tubuhku sakit, mual dan parahnya aku mudah sekali marah. Aku merasa sangat tak nyaman dan serba salah. Mudah merasa terganggu oleh hal kecil, bahkan suara detak jam dinding membuatku ingin membantingnya. Karenanya, waktuku banyak kuhabiskan di kamarku, berusaha menghindari banyak kontak dengan anakku. Aku sadar, aku mengalami depresi.

Kemudian kulihat berita-berita bunuh diri di TV. Dalam beberapa hari saja ada dua kejadian bunuh diri. Keduanya di mall dan korbannya masih sangat muda. Salah satu kasus yang kucermati dikarenakan ia stress karena sakit yang tak kunjung sembuh. Hal ini merasuki pikiranku dan aku merasa mengerti apa yang ada di pikirannya.

Setelah menjalani terapi ini, aku memahami rasanya mengalami depresi. Sangat tidak enak. Sangat banyak pertentangan dalam hati dan pikiran. Aku belajar rasa ketidakberdayaan. Saat dimana aku kehilangan kontrol dan tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Saat itu banyak rencana yang berjalan kacau di luar kendaliku...karena efek samping terapi ini yang datang dan pergi sesuka hati. Akhirnya aku belajar apa yang disebut ikhlas. Pelajaran yang paling sulit. Aku berhasil mempelajari semuanya meski kusadar "with the hard way".

Kucoba belajar mengatasi depresi tanpa anti-depresant. Aku mengalami rasanya tidak berdaya dan stress memikirkan hal-hal negatif yang seharusnya tidak boleh terlintas di benakku. Salah satunya adalah keinginan untuk berhenti terapi. Keinginan untuk bebas dari rasa lelah tak berujung ini, bebas dari rasa sakit kepala dan otot, bebas dari rasa mual, untuk dapat berkonsentrasi dan....sekedar untuk dapat tidur nyenyak di malam hari. Semua keinginan itu seperti meracuni pikiranku. Sangat menggoda. Karena sangat mudah untuk mendapatkannya yaitu dengan menghentikan terapiku. Kemudian...tak lama, aku dapat tidur nyenyak.

Mungkin, pikiran-pikiran itulah yang merasuki para korban bunuh diri tersebut. Mereka ingin bebas dari apapun beban mereka dengan cara yang menurut mereka lebih mudah. Di saat mereka merasa tak berdaya...dan saat itu tak ada seorangpun yang dapat menolong mereka.

Aku, memiliki orang-orang terdekat yang mendukungku. Ada seorang suami yang sangat memahami kondisiku. Pendukungku dalam menjalani terapi ini. Takkan mampu kujalani ini tanpanya. Dia yang terhebat.
Anakku yang belum genap 7 tahun, dialah matahariku. Saat aku kacau, dia mau melakukan kebutuhannya sendiri dan terkadang dengan manisnya memijat kepalaku (itulah cara yang ia tahu untuk menyembuhkan sakitku). Belum lagi celoteh-celoteh lucunya yang sering membuatku tertawa.
Orang tuaku, tak kurang perhatiannya padaku. Kuyakin namaku tak putus selalu mereka sebut dalam doa.
Saudara-saudaraku, dengan caranya masing-masing menunjukkan bahwa mereka perduli padaku.
Aku pun, selalu berusaha menyemangati diriku: berdoa memohon kesembuhan dan membaca doa-doa dan bacaan-bacaan yang menguatkan.

Dengan semuanya itu seharusnya semangatku penuh. Namun entah mengapa ada suatu saat aku masih merasa sendirian dan tertekan. Saat yang sangat menyiksa. Dengan keterbatasan yang ada, kutak bisa melakukan hal-hal yang dapat mengalihkan pikiran-pikiran negatifku.

Teman-temanku pun tak kurang memberi dukungan. Lewat telpon, email atau pun SMS. Tertawa merupakan hal yang langka belakangan ini, namun mereka membuatku tertawa, berusaha melupakan apa yang kualami saat ini. Mereka semua berusaha menyelamatkan hidupku. Aku paham itu, kucoba terus berjuang dan terus berjuang. Kubertahan. Senyum dan perhatian mereka semua menguatkanku.

Aku sempat berpikir, apakah kedua korban bunuh diri itu tak memiliki semua dukungan seperti yang aku miliki? Atau kah punya, namun tak kuasa melawan semua pikiran negatif dan keinginan untuk menyelesaikan semuanya dengan cara mudah? Kalaupun mereka punya dukungan dari orang terdekat mereka, pastinya tindakan mereka ini sangat mengagetkan dan memprihatinkan orang-orang terdekat mereka.

Untukku, mereka semua yang telah kusebut sebagai pendukungku adalah penyelamat kehidupanku setahun belakangan ini. Aku sungguh beruntung. Sayang sekali tidak ada yang sempat menyelamatkan kehidupan kedua remaja tersebut. Mungkin saat ini semua keluarga dan sahabat mereka sempat bertanya-tanya: apa yang salah? Sehingga mereka seperti kecolongan kehilangan suatu kehidupan di depan mata mereka. Memang hidup dan mati di tangan Sang Pencipta kehidupan itu sendiri. Seorang dokter dan psikolog pun tak tahu pasti cara jitu menyelamatkan suatu kehidupan. Yang ada hanya usaha terbaik.

No comments:

Post a Comment