Saturday, October 31, 2009

Senyuman di Pagi Hari

Dua minggu terakhir ini mulai terasa berat. Padahal malam tadi suntikan ke-41. Tinggal 7 lagi. Kondisiku malah terasa makin menurun walau sudah ditambah suntikan EPO. Hampir tiap tiba di kantor aku butuh waktu lama untuk mengistirahatkan kepalaku dan badanku di sofa dapur kantor. Terkadang butuh waktu 3 jam! Perjalanan pulang pergi ke kantor terasa panjang dan melelahkan. Sampai di rumah pun aku hanya dapat menyediakan waktu sedikiiiit untuk anakku dan suami. Maaf, sayangku.

Kepalaku sering sekali terasa sakit dan berat. Lumayan rasanya bila disenderkan kemanapun :p. Napasku sering pendek-pendek dan memburu. Sering aku ditanya suamiku apakah asmaku kambuh karena sangat nyata terlihat. Aku yakin bukan asmaku yang kambuh, tapi begitulah adanya. Dadaku sering sakit, begitu pula otot-otot leher dan punggungku..sering tak terasa air mataku keluar untuk menahannya. Aku sering mual dan sakit perut. Aku juga sering merasa gelisah tanpa sebab. Suaraku sering bindeng atau serak, telingaku pun suka berdenging. Badanku lemas. Aku hanya ingin tidur dan tidur. Sulit sekali untuk berpikir dan berkonsentrasi. Banyak hal yang kulupa dan aku sangat sembrono dalam bertindak.

Sudah sulit menyembunyikan semuanya. Lipstik merah dan pemerah pipi tak lagi dapat menyembunyikan wajah pucat dan tubuh lemasku. Teman-teman mulai tak tahan bertanya yang kadang hanya kubalas dengan senyuman. Ibuku pun pernah berkomentar bahwa aku seperti bukan aku, seperti orang lain di matanya. Ah Ibu, aku pun rindu diriku. Diriku yang dulu.

Teman-teman dan keluarga mulai memborbardirkan perhatiannya untuk menyemangati. Dooh, aku pasti sudah parah sekali nih sampai-sampai semua kuatir. Bosku juga mulai kelihatan kuatir. Di saat aku ijin istirahat, malah ditambah bonus satu hari. Baiknya mereka.

Aku introspeksi. Mungkin semangatku mulai kendur. Semua orang menyemangati tapi mungkin diriku tidak. Sebanyak apapun sahabat dan keluarga memberi semangat, kalau diriku mengendur, tak berarti.

Gimana ya caranya? Kumulai dari bangun tidur, beberapa hari yang lalu. Setiap kali bangun tidur dan menuju kamar mandi, kumampir di cermin dan tersenyum pada bayangan cerminku. Jelek sih, dengan rambut awut-awutan dan muka kusut. Tapi wajahku lucu, akhirnya ya mau gak mau aku tersenyum, bahkan tertawa. Malu juga bila pas ketahuan anakku atau suami. Tapi aku cuek saja. Aku jadi senang. Ide tersenyum bangun tidur di cermin ini sebenarnya sudah lama kubaca dari buku karangan Ajahn Brahm. Ide bagus, berhasil memberiku semangat untuk terus bertahan. Tiap pagi aku melihat diriku yang asli. Tubuh kurus dengan wajah pucat namun masih cantik (hahahaha) dan pantas dicintai. Memang saat ini aku dalam kondisi buruk, namun kalau aku tak mencintai diriku, bagaimana aku bisa sembuh? Tiap pagi aku memupuk rasa cinta itu. Dengan cinta yang semakin besar, membuatku bersemangat untuk tetap bertahan. Kuingin makhluk di cermin itu tidak hilang cahayanya, tidak hilang senyumannya.

Hasilnya lumayan bagus. Aku mulai nekat bernyanyi-nyanyi walau nafasku sering tak sampai (kacau deh, anakku sering tertawa mendengarku). Waktu bermain dengan anakku juga bertambah. Tidak memerlukan banyak tenaga, hanya bermain scrabble dan catur. Lagi-lagi anakku menertawakanku karena kalau sudah pusing, permainanku kacau dan terkesan asal-asalan ^_*. Tak apa, toh aku dan anakku menikmatinya. Disaat tubuhku amat lemah, aku tetap usahakan keluar rumah meski hanya membonceng motor suamiku, mengamati kesibukan orang-orang. Ah, segarnya terkena angin sepoi-sepoi.

Terus terang, selain semangat spiritual dari doa dan dukungan sahabat dan keluarga...senyum dan tertawa juga membantu. Dulu aku suka tersenyum dan tertawa, akhir-akhir ini memang terasa jarang. Senyuman di pagi hari, menolongku mengingatkan bahwa aku masih bisa tersenyum dan tertawa. Kata para ahli, senyum dan tertawa menstimulasi suatu hormon yang meningkatkan daya tahan tubuh. Barangkali maksudnya senyum dan tawa bahagia, bukan karena stress :p.

No comments:

Post a Comment